BMKG Dorong Langkah Kolaboratif Atasi Perubahan Iklim di WWF 2024

Krisis air menjadi ancaman serius dan nyata sehingga harus jadi perhatian seluruh negara di dunia.

Oleh karena itu, Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati mendorong agar pertemuan World Water Forum (WWF) Ke-10 yang akan digelar di Bali pada 18 – 25 Mei 2024 menjadi momentum mencari solusi bersama menyelesaikan persoalan tersebut.

“Mewujudkan keadilan, ketersedian dan kualitas terhadap air saat ini masih belum dipandang adil secara global ataupun regional. Inilah yang harus didorong untuk dibahas nanti. Langkah-langkah apa saja yang harus dilakukan secara kolaboratif,” ujarnya dalam Forum Merdeka Barat 9 (FMB) bertajuk Kolaborasi Tangguh Atasi Tantangan Perubahan Iklim di Jakarta.

Dwikorita mengatakan, salah satu penyebab utama krisis air adalah terus meningkatnya emisi gas rumah kaca yang berdampak pada peningkatan laju kenaikan suhu udara.

Akibatnya proses pemanasan global terus berlanjut dan berdampak pada fenomena perubahan iklim yang dapat memicu krisis air, pangan dan bahkan energi.

“Meningkatnya frekuensi, intensitas dan durasi kejadian bencana hidrometeorologi juga jadi persoalan,” ungkapnya.

Berdasarkan data World Meteorological Organization (WMO) yang dikumpulkan dari pengamatan di 193 negara, BMKG memproyeksikan dalam beberapa tahun ke depan akan terjadi hotspot air atau daerah kekeringan di berbagai negara.

“Artinya akan banyak tempat yang mengalami kekeringan. [Hal ini bisa terjadi] baik di negara maju maupun berkembang. Baik Amerika, Afrika, dan negara lainnya sama saja [terdampak],” kata Dwikorita.

Di sisi lain, lanjutnya, terdapat daerah di dunia yang memiliki debit air sungai melampaui normal atau surplus sedang terjadi kebanjiran.

Kondisi ini merupakan bukti bagaimana perubahan iklim sedang terjadi di seluruh negara dunia dan akan semakin buruk hasilnya jika tidak dilakukan upaya mitigasi bersama.

Baca Juga:  Negara Anggota IMO Diajak Indonesia Bahas Finalisasi Dokumen Usulan Selat Lombok sebagai PSSA

Pada kesempatan tersebut, Dwikorita mengungkapkan jika Indonesia saat ini belum terdeteksi mengalami hotspot air, tetapi bukan berarti dalam skala lokal kekeringan tidak terjadi.

Jika lengah dan gagal memitigasi, dia menambahkan, diproyeksikan pada 2045-2050 di saat Indonesia memasuki masa emas akan terjadi perubahan iklim dan mengalami krisis pangan.

Food and Agriculture Organization (FAO) bahkan beberapa waktu lalu telah memproyeksikan di tahun tersebut krisis pangan akan menimpa hampir seluruh negara di dunia.

Tidak main-main, kurang lebih 500 juta petani skala kecil yang memproduksi 80% sumber pangan dunia menjadi pihak yang paling rentan pada perubahan iklim.

“Cuaca ekstrem, iklim ekstrem dan kejadian terkait air lainnya telah menyebabkan 11.778 kejadian bencana dalam kurun waktu tahun 1970 hingga tahun 2021,” jelasnya. I

Kirim Komentar