Kabupaten Lebak, Banten dalam dekade terakhir telah menjadi salah satu wilayah yang paling rentan dan sering dilanda oleh bencana hidrometeorologi, yang mencakup banjir, banjir bandang, tanah longsor dan cuaca ekstrem.
Dominasi bencana ini menunjukkan adanya kerentanan ekologis dan struktural wilayah, terutama karena kontur tanah pegunungan, tingginya curah hujan dan adanya aktivitas yang merusak lingkungan.
Catatan terdahulu Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), puncak dari rentetan bencana ini terjadi pada awal tahun 2020, ketika banjir bandang dan longsor hebat menerjang banyak kecamatan, menghancurkan ratusan rumah, memutus jembatan bahkan mengubah jalur sungai, yang menelan korban jiwa sebanyak sembilan jiwa.
Meskipun curah hujan yang tinggi adalah pemicu langsung, investigasi mengaitkan keparahan bencana tersebut dengan berbagai faktor, seperti alih fungsi lahan di wilayah Daerah Aliran Sungai (DAS), antropogenik, terutama Penambangan Emas Tanpa Izin (PETI) dan perusakan hutan di kawasan lindung yang telah menghilangkan daya serap air tanah.
Selain peristiwa besar tersebut, Lebak secara tahunan menghadapi banjir dan longsor berulang yang menyebabkan kerugian material signifikan dan pengungsian, menegaskan bahwa masalah kerentanan lingkungan dan drainase sudah meluas.
Bencana yang dipicu oleh faktor cuaca ditambah masifnya eksploitasi lahan ini seolah mencerminkan kembali kritik keras Multatuli di masa lalu, menunjukkan bahwa penindasan terhadap tanah terus berlanjut dan berujung pada penderitaan yang berkelanjutan bagi masyarakat.
Multatuli, melalui karyanya berjudul Max Havelaar, mengutuk keras eksploitasi yang menyebabkan kelaparan.
Namun, penderitaan tidak berhenti di sana. Eksploitasi manusia dan tanah di masa lalu telah meninggalkan luka jangka panjang, yakni kerusakan ekologi.
Hutan yang gundul demi komoditas telah meruntuhkan pertahanan alam, menjadikan Lebak rentan terhadap bencana hidrometeorologi seperti longsor dan banjir hari ini.
BNPB bersama Kementerian Desa dan PDT, Basarnas, Kantor Staf Kepresidenan, Pemerintah Provinsi Banten, Pemerintah Kabupaten Lebak dan 300 relawan, serta komponen bangsa lainnya menancapkan bibit-bibit pohon di tanah Lebak, Banten, tempat yang 165 tahun lalu menjadi saksi bisu penderitaan rakyat akibat Sistem Tanam Paksa.
Sebanyak 14.500 bibit pohon yang memiliki fungsi sebagai peneduh, berakar kuat dan bernilai ekonomi seperti sukun, mahoni, mangga, alpukat, sengon, trembesi, nangka, jambu, jabon, durian serentak ditanam di lahan kritis yang berada di di Kecamatan Leuwidamar, pada Daerah Aliran Sungai (DAS) Cisimeut sebagai sub-sungai DAS Ciujung, yang memiliki tingkat kerawanan tinggi.
Selain Lebak, program ini juga diterapkan di beberapa daerah lain seperti Kabupaten dan Kota Bogor (Jawa Barat), Banjarnegara dan Wonosobo (Jawa Tengah), serta Kota Batu dan Malang (Jawa Timur). Seluruh wilayah tersebut akan melaksanakan penanaman serentak pada waktu yang sama.
Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Letjen TNI Suharyanto dari Wonosobo, Jawa Tengah mengungkapkan, sebanyak 2.980 relawan, termasuk personel TNI dan Polri menyiapkan dan menanam bibit pohon dari jenis pohon bernilai ekonomis, peneduh dan pengikat tanah.
Secara keseluruhan, total bibit pohon oleh para relawan ini berjumlah lebih dari 200.000 batang pohon, termasuk bibit yang ditanam di Lebak, Banten.
“Hari ini sudah berjalan penanaman 216.070 batang pohon, yang melibatkan 2.980 relawan termasuk TNI-Polri di empat provinsi sejak hari Rabu (19/11),” ujar Kepala BNPB saat menyampaikan laporan kegiatan kepada Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan melalui daring pada Jumat (21/11).
Sementara itu, dari Lebak, Asisten Daerah II Provinsi Banten Budi Santoso A.P. berharap, seluruh komponen bangsa mulai dari pemerintah hingga masyarakat dapat turut menjaga bumi.
Tidak hanya menanam, lanjutnya, tetapi juga harus bisa merawat hingga manfaatnya nanti dapat dirasakan bersama.
“Merawat bumi tidak hanya tugas satu pihak. Kolaborasi pentahelix tumbuh bersama dengan tunas yang kita tanam hari ini. Harapan semua warga turut menjaga bumi. Langkah kecil yang dilakukan akan membuahkan hasil maksimal,” jelasnya.
Penanaman vegetasi ini menjadi wujud perhatian pemerintah kepada masyarakat melalui sinergi dengan pemerintah daerah. Bentuk kolaborasi ini didukung penuh menggunakan Dana Bersama Pooling Fund Bencana, sebagai instrumen pembiayaan yang terencana dan berkelanjutan bagi penanggulangan bencana.
Instrumen ini dijalankan melalui enam pilar strategis, mulai dari pengumpulan dan pengembangan dana, penyaluran pendanaan di seluruh fase bencana, transfer risiko melalui skema asuransi hingga peningkatan koordinasi, kemitraan, serta tata kelola.
Program Dana Bersama tidak hanya berfokus pada fase prabencana, tetapi juga dapat digunakan untuk mendukung kebutuhan tanggap darurat hingga pascabencana.
Pemerintah daerah maupun masyarakat dapat mengajukan dukungan sesuai kebutuhan.
Dengan program penanaman vegetasi ini, tidak hanya mencegah bencana alam, tetapi juga melakukan aksi balas budi atas nama sejarah, mengubah warisan eksploitasi menjadi warisan konservasi. I





