DEKARBONISASI INDUSTRI PERLU SINERGI WUJUDKAN SUMBER ENERGI BERSIH

Kementerian Perindustrian (Kemenperin) terus mengupayakan penurunan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) yang dihasilkan oleh sektor industri.

Saat ini, sektor industri berkontribusi sekitar 15-20% dari total emisi GRK nasional.

Untuk itu, Kemenperin fokus menjalankan strategi dekarbonisasi di sektor industri dengan merangkul para stakeholder terkait.

Bila dilihat dari sumber emisinya, 60% berasal dari penggunaan energi, sedangkan 25% emisi dari limbah industri, dan 15% berasal dari Industrial Process and Product Use (IPPU).

“Salah satu langkah untuk mempercepat target Net Zero Emissions (NZE) adalah dengan meminimalkan komponen limbah industri dan IPPU di industri,” kata Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita di Jakarta.

Sementara itu, emisi yang dominan berasal dari penggunaan energi akan terus ditekan jumlahnya dengan meningkatkan sinergi dengan Kementerian/Lembaga lain dan stakeholder yang berperan penting dalam penyediaan sumber energi yang bersih.

Menperin memberikan perbandingan, berdasarkan studi Polestar dan Rivian tahun 2021 di Eropa, Amerika Utara, dan Asia Pasifik yang dilaporkan pada Polestar and Rivian Pathway Report (2023), selama siklus hidupnya, emisi yang dihasilkan kendaraan listrik lebih rendah.

Data tersebut adalah 39 tonnes of carbon dioxide equivalent (tCO2e), dibandingkan kendaraan listrik hybrid (HEV) sebesar 47 tCO2e, dan kendaraan konvensional atau internal combustion engine (ICE) yang mencapai 55 tCO2e.

Life Cycle Emissions menunjukan jumlah total gas rumah kaca dan partikel yang dikeluarkan selama siklus hidup kendaraan mulai dari produksi hingga penggunaan dan pembuangan (disposal).

Tingginya Life Cycle Emissions kendaraan konvensional dan kendaraan listrik hybrid terutama berasal dari faktor emisi gas buang saat pemakaian (tailpipe emissions), masing-masing sebesar 32 tCO2e (57%) dan 24 tCO2e (51%).

Baca Juga:  Angkutan Barang Diimbau Menhub Adopsi Kemajuan Teknologi

Pada kendaraan listrik, faktor produksi energi listrik menjadi faktor utama penghasil emisi, yaitu 26 tCO2e (66.7%).

Jejak karbon juga terdapat pada produksi baterai kendaraan listrik BEV dan kendaraan listrik hybrid, masing-masing 5 tCO2e dan 1 tCO2e.

Produksi baterai dan komponen lainnya tersebut memerlukan mineral tambang dan energi yang signifikan.

Namun demikian, saat ini telah berkembang inovasi dan perbaikan dalam rantai pasok baterai dan teknologi pengemasan untuk mengurangi dampak ini.

Selama pemakaian, kendaraan listrik tidak menghasilkan emisi gas buang karena menggunakan motor listrik dan baterai sebagai penggeraknya, sedangkan kendaraan konvensional menghasilkan emisi langsung dari proses pembakaran BBM tergantung pada jenis dan kualitas bahan bakar yang digunakan (misalnya bensin atau diesel), serta efisiensi mesin.

Emisi yang dihasilkan oleh BEV saat periode pemeliharaan kendaraan listrik juga lebih rendah karena mengkonsumsi energi lebih sedikit dan kurangnya komponen mekanis yang kompleks seperti transmisi.

Kendaraan listrik hybrid dan kendaraan konvensional melibatkan penggunaan material dan energi yang lebih besar, serta penggantian suku cadang yang lebih banyak.

Ketika masa pakai berakhir, atau di tahap deponi dan daur ulang, kedua jenis kendaraan akan menghasilkan limbah.

Kendaraan listrik hybrid dan konvensional menghasilkan limbah dari oli mesin dan komponen lainnya.

Sementara itu, baterai bekas kendaraan listrik BEV dapat didaur ulang atau dijadikan energi penyimpanan sekunder.

Penting untuk dicatat bahwa dampak emisi selama siklus hidup kendaraan sangat dipengaruhi oleh sumber energi listrik yang digunakan.

Emisi kendaraan listrik akan jauh lebih rendah jika energi listrik yang digunakan untuk proses produksi dan saat mengisi baterai berasal dari energi bersih yang ramah lingkungan.

“Jadi, harapannya dekarbonisasi sektor kelistrikan dapat membantu mengurangi penggunaan fase emisi pada BEV,” jelas Menperin.

Baca Juga:  Peluang Airbus Kembangkan Industri Penerbangan di Indonesia Terbuka

Secara umum, strategi dekarbonisasi di sektor industri terdiri atas pemanfaatan teknologi hemat energi dan rendah emisi, penggunaan Energi Baru dan Terbarukan (EBT), efisiensi energi, air, dan bahan baku, juga manajemen limbah dan ekonomi sirkular.

“Kami juga mendorong sektor industri untuk lebih proaktif, sehingga pencapaian target NZE di sektor industri harus bisa tercapai pada tahun 2050, atau 10 tahun lebih cepat dari target NZE nasional pada tahun 2060,” tuturnya. I

Kirim Komentar