Hasil Survei Online Pergerakan Masyarakat pada Masa Natal 2023 dan Tahun Baru 2024 (Nataru 2023/2024) yang dilakukan Badan Kebijakan Transportasi Kementerian Perhubungan (Kemenhub) tahun 2023, menghasilkan diperkirakan sebanyak 26,03 juta jiwa (24,19%) warga akan bepergian dengan mobil pribadi.
Kemudian, sebanyak 20,14 juta jiwa (18,71%) memakai sepeda motor. Menggunakan kereta api antarkota 13,39 juta (12,63%), pesawat 13,38 juta (12,43%), bus 12,29 juta jiwa (11,42%), mobil sewa 8,31 juta jiwa (7,72 jiwa), dan kapal penyeberangan 4,81 juta jiwa (4,47%).
Selain itu, mobil travel 4,81 juta (4,47%), kapal laut 2,08 juta jiwa (1,93%), ketreta perkotaan (KRL, MRT, LRT, KRD) 1,19 juta jiwa (1,11%), angkutan lainnya 821.000 jiwa (0,76%), mobil angkutan sewa khusus (taksi daring) 614.000 jiwa (0,57%).
Selanjutnya, yang akan menggunakan kereta cepat Whoosh diperkirakan 296.000 (0,27%) dan taksi reguler 201.000 jiwa (0,19%).
Pergerakan jutaan kendaraan ini menantang dalam rekayasa lalu lintas agar lancer, terutama memberi keselamatan dan keamanan masyarakat.
Padahal, dengan berkendara pribadi, masyarakat bertanggung jawab dengan keselamatan dan keamanan sendiri dari aspek keandalan moda dan kompetensi.
Potensi kecelakaan di masa Natal dan Tahun Baru dengan lonjakan mobilitas pemudik menjadi tantangan besar dan berat dalam pencegahan.
Prinsip pengembangan wisata adalah 3A, yaitu Accessibility (aksesibilitas), Amenities (fasilitas) dan Attraction (atraksi).
Banyak kawasan wisata di Indonesia hanya mengandalkan A terakhir, yakni Attraction dan suka lupa dengan 2A (Accessibility dan Attraction) yang lain. Kemudian, banyak juga kawasan wisata alam di Indonesia tidak bertahan lama.
Ada dua potensi yang tidak terpisahkan, kecelakaan karena wisata dan melewati pelintasan. Kendaraan tidak layak, tapi masih dipakai, tidak terampil, tapi mengemudi, dan kurang waspada atau tidak patuh aturan akan meningkatkan risiko kecelakaan.
Masyarakat juga perlu mempertimbangkan musim hujan sehingga intensitas naik sebagai faktor lain yang memicu peningkatan potensi kemacetan dan kecelakaan.
Akses menuju lokasi wisata yang rentan terkena banjir, longsor, ambles, licin, berliku, menanjak, dan menurun menjadi lebih berbahaya.
Bagi masyarakat yang ingin berwisata menggunakan bus wisata, untuk selalu cek statusnya di Sistem Perizinan Online Angkutan Darat dan Multimoda (SPIONAM) milik Direktorat Jenderal Perhubungan Darat Kementeran Perhubungan.
Warga yang akan menggunakan bus wisata, meminta kepada pengusaha bus untuk menunjukkan surat kir kendaraan, kartu pengawas, surat izin bus pariwisata yang masih berlaku.
Memastikan bahwa pengemudi benar-benar memahami kondisi jalur yang akan ditempuh dan meminta dua pengemudi, meskipun perjalanan wisata hanya satu hari. Jangan tergiur tawaran tarif sewa bus yang murah, namun keselamatan tidak terjamin.
Mengutip data dari Direktorat Lalu Lintas Ditjenhubdat Kemenhub, hingga November 2023, jumlah kendaraan pariwisata 16.297 unit.
Baru 10.147 bus (62,26%) yang terdaftar di SPIONAM, sisanya 6.150 bus (37,74%) adalah angkutan liar alias tidak terdaftar. Masyarakat perlu mewaspadai juga dengan tawaran-tawaran murah dari penyelenggara.
Masih banyak pengusaha angkutan pariwisata yang tidak mau mengurus ijinnya, terutama pengusaha angkutan bus pariwisata yang menjual kendaraan kepada perusahaan angkutan lainnya.
Berdasarkan hasil investigasi di lapangan masih ditemukenali banyaknya overtime pengemudi yang tidak dipantau oleh perusahaan.
Kurangnya keterampilan pengemudi bus untuk mengenal jalan yang akan dilalui, sehingga sering terjadi bus pariwisata melalui kelas jalan yang tidak sesuai dengan ukuran bus.
Masih banyak perusahaan bus wisata belum melakukan risiko perjalanan (risk journey) terhadap pengemudi bus wisata. Kerap kejadian kecelakaan lalu lintas disebabkan pengemudi belum memahami jalur yang akan dilewatinya.
Bus pariwisata dapat dicek kondisi teknis kendaraan dan kemampuan pengemudinya. Ditjen Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan harus melakukan ramp check atau inspeksi keselamatan pada bus pariwisata.
Jika ditemukan salah satu dari seluruh elemen tidak dipenuhi, lebih baik bus pariwisata tersebut tidak dijalankan.
Di sisi lain, pasal 90 Undang Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, menyebutkan waktu kerja bagi pengemudi kendaraan bermotor paling lama delapan jam sehari.
Pengemudi kendaraan bernotor umum setelah mengemudi kendaraan selama empat jam berturut-turut wajib bveristirahat paling singkat setengah jam. Hanya dalam hal tertentu dapat dipekerjakan paling lama 12 jam sehari termasuk waktu istirahat selama satu jam.
Sementara itu, dalam Peraturan Menteri Nomor PM 44 Tahun 2019 tentang Standar Pelayanan Minimal Angkutan Orang Dengan Kendaraan Bermotor Umum Tidak Dalam Trayek, menyebutkan Pengemudi wajib istirahat paling lama 15 menit setelah mengemudikan kendaraan selama dua jam berturut-turut, untuk menjaga agar kondisi pengemudi tetap prima.
Selain itu, kondisi jalan yang padat dan cenderung macet juga akan melelahkan fisik serta mental pengendara.
Kelelahan itu membuat proses pengambilan keputusan menjadi bias dan lebih berisiko. Jika mengemudi alami kelelahan, sebaiknya segera beristirahat di rest area (jika di jalan tol) atau mencari tempat yang nyaman beristirahat (bukan di jalan non tol).
Tempat istirahat bagi pengemudi bus wisata di lokasi wisata kurang mendapat perhatian para pengelola tempat wisata.
Pengemudi bus wisata kerap beristirahat di dalam kabin bus atau di luar bus dengan menggelar alas tidur untuk menghilangkan kepenatan selama mengemudi bus.
Pengelola tempat wisata hendaknya memberikan tempat istirahat yang nyaman. Bila perlu dilengkapi dengan kamar mandi dengan air hangat, seperti yang disediakan pengelola Taman Impian Jaya Ancol di Jakarta.
Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif hendaknya menambahkan dalam Pedoman Pengelolaan Tempat Wisata untuk mewajibkan pengelola tempat wisata menyediakan tempat istirahat bagi pengemudi kendaraan wisata. Ada standar tempat istirahat pengemudi angkutan wisata.
Selain itu, masih ada risiko kian bertambah jika melewati pelintasan sebidang antara jaan rel dengan jalan raya.
Di sini, faktor-faktor pemicu kecelakaan itu ialah waktu (lama perjalanan), konstruksi jalan, kondisi cahaya, cuaca, jumlah lajur jalan, permukaan jalan dan rel, jenis dan usia kendaraan, median, lebar, geometrik jalan, jumlah sepur, serta keberadaan palang pintu.
(Djoko Setijowarno, Akademisi Prodi Teknik Sipil Unika Soegijapranata dan Wakil Ketua Pemberdayaan dan Pengembangan Wilayah Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Pusat)