Kalangan pelaku usaha jasa penempatan Pekerja Migran Indonesia (PMI) mendesak pemerintah untuk memperhatikan nasib sekitar 6 juta pekerja yang berada di luar negeri secara ilegal.
Menurut Ketua Dewan Penasehat Himpunan Pengusaha Jasa Tenaga Kerja Indonesia (Himsataki) Yunus Yamani, pelaku usaha penempatan mendukung upaya pemerintah dalam membongkar penempatan PMI ilegal.
Namun, lanjutnya, menjadi pertanyaan mengenai nasib sebanyak 6 juta PMI ilegal yang ada di berbagai negara, yang mayoritas ada di Arab Saudi, karena pengiriman PMI ilegal bukan hanya kesalahan perusahaan penempatan semata.
“Kami juga tidak mau pelaku usaha penempatan yang beroperasi dengan benar harus selalu disalahkan, karena ulah oknum yang didukung sindikat penempatan PMI ilegal, kasihan juga dengan PMI ilegal yang mendesak dipulangkan ke tanah air,” jelas Yunus.
Sebelumnya, Menteri Perlindungan Pekerja Migran Indonesia Abdul Kadir Karding mengatakan, ada sekitar 6 juta PMI yang bekerja di luar negeri secara ilegal.
“Ketika saya membuka data, rupanya pekerja migran kita yang unprocedural itu jumlahnya mungkin sekarang bisa lebih dari lima hingga enam juta, karena di tahun 2017, itu 4,3 juta,” katanya dalam acara pengukuhan Tim Reaksi Cepat BP2MI di Jakarta, akhir tahun lalu.
Menteri Karding menambahkan, jumlah 4,3 juta PMI pada tahun 2017 bertambah dari hari ke hari dan jumlahnya menjadi sangat besar.
Maka dari itu, Yunus Yamani menegaskan bahwa tidak mungkin penempatan PMI ilegal tidak melibatkan oknum pemerintah, jadi bukan hanya pencegahan yang harus dilakukan pemerintah dengan semua pihak terkait, tetapi juga memperhatikan nasib PMI yang berstatus ilegal di luar negeri.
Dia mencontohkan, dengan Sistem Penempatan Satu Kanal (SPSK) untuk penempatan PMI di Arab Saudi yang dimulai pada pertengahan tahun 2023, tidak memberi peluang bagi perusahaan penempatan dan pemerintah untuk mengawasi PMI yang pernah ditempatkan.
SPSK adalah kebijakan ketenagakerjaan yang dikeluarkan Pemerintah Indonesia pada 18 Desember 2018 dengan tujuan untuk mengurangi kekerasan terhadap PMI.
Pada 11 Agustus 2022, Pemerintah Indonesia dan Kerajaan Arab Saudi menandatangani pengaturan teknis untuk SPSK dengan uji coba SPSK berakhir pada 11 Agustus 2024.
Jadi, para PMI yang bekerja di majikan-majikan Arab Saudi jika selesai bekerja setiap harinya kembali ke Syarikah, yang dalam sistem SPSK berfungsi seperti lokasi penampungan, demikian juga bagi yang bermasalah, sehingga Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) maupun perusahaan yang menempatkannya tidak dapat menghubungi PMI.
Bahkan, Atase Tenaga Kerja sebagai salah satu perwakilan Pemerintah Indonesia di negara penempatan seringkali tidak mengetahui jika ada persoalan dengan PMI, karena berada di Syarikah dan tidak ke KBRI.
“Jika PMI tidak setuju dengan majikannya di Arab Saudi, maka larinya ke Syarikah, bukan ke KBRI, nanti tetap di Syarikah sampai bisa dipindahkan bekerja, termasuk jika ada masalah dengan gaji,” ungkap Yunus.
Himsataki menegaskan kembali bahwa permasalahan PMI ilegal adalah wewenang antarpemerintahan, tidak hanya di Arab Saudi yang diperkirakan ada 4 juta hingga 5 juta PMI ilegal, tetapi juga negara tujuan penempatan lainnya agar ada penegakan hukum yang berkeadilan.
Selain itu, lanjut Yunus, salah satu cara menanggulangi PMI illegal adalah dengan membuka kembali penempatan ke sejumlah negara yang ditutup dengan peraturan ketat dari Kementerian P2MI sebagai leading sector penempatan PMI ke luar negeri. I