PEMENANG LOMBA MENULIS KOTA BEKASI: KOTA BEKASI SATELIT JAKARTA

“Ada Gula, ada Semut” tampaknya pepatah itu masih berlaku hingga saat ini bagi keberadaan Ibukota DKI Jakarta. Urbanisasi tak terelakkan, lonjakan penduduk di DKI Jakarta tetap terasa.

Danny Richard PT, ASN Pemerintah Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan. (dok. istimewa)

Gambaran yang kuat DKI Jakarta sebagai Ibukota, Kota Metropolitan yang menawarkan sejumlah peluang dan masa depan cerah masih tampak kental ibarat kopi hitam yang senantiasa digemari di pagi hari.

Berbagai pusat perkantoran, pusat perbelanjaan, mal, ruko, apartemen, kafe, rumah klaster elit hingga rumah BTN subsidi masih terus digenjot pembangunannya.

Terkhusus di Kota Satelit Jakarta, sebut saja Kota Bekasi. Ya, sebagai salah satu kota satelit penyangga Jakarta, Kota Bekasi adalah kota yang mempunyai hubungan interdependensi dengan perkembangan Kota Jakarta.

Urbanisasi dan Pergeseran manusia sebagai sebuah value-transaction. Urbanisasi muncul terkait dengan terjadinya proses perubahan dan pertumbuhan suatu wilayah yang disebut dengan istilah kota.

Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila urbanisasi ini dapat diartikan sebagai suatu proses perpindahan penduduk dari desa ke kota walaupun secara harfiah urbanisasi bisa juga berarti Pengkotaan.

Sinkron dengan pemahaman De Bruijne, seperti dikutip N. Daldjoeni (1988) dengan sangat baik dan utuh mengartikan urbanisasi sebagai proses meluasnya pengaruh suasana sosial, psikologis dan kultural kata pedesaan, ringkasnya, meluasnya nilai-nilai dan norma-norma kota ke kawasan luarnya.

Kurang lebih 14 juta jiwa membanjiri seluruh DKI Jakarta pada siang hari, dan terdapat 11 juta jiwa penduduk asli DKI Jakarta pada malam hari. Dengan presentasi para komuter sekitar 30% setiap harinya, ini menandakan DKI Jakarta ibarat kue tart bergula manis yang selalu mendatangkan semut setiap harinya.

Pusat perbelanjaan, pusat perkantoran, pusat pemerintahan dan pusat bisnis hadir di DKI Jakarta. Pusat properti, rumah sakit, sekolah dan pusat jajanan serba ada (pujasera) juga kerapkali diserbu para konsumen yang antusias.

Hal ini harus bisa dilihat sebagai peluang perkembangan salah satu kota satelit di sekeliling DKI Jakarta, Kota Bekasi. Pepatah “Ada Gula, ada Semut” tersebut terbukti dari realitas empiris yang hadir saat ini.

Realitas empiris itu adalah Pergerakan manusia dari Kota Bekasi menuju DKI Jakarta bisa dilihat pada beberapa perspektif. Selain pergerakan fisik manusia secara an sich, ada juga interaksi sosial budaya pada perjalanan pergerakan para komuter ini. Interaksi di KRL, interaksi di MRT, interaksi bus kota di jalan raya menjadi suatu citra tersendiri yang saling mempengaruhi dan saling membangun.

Apapun yang sedang menjadi tren dan sedang menjadi topik pembicaraan (happening) di DKI Jakarta, maka hal tersebut akan cepat diduplikasi di Kota Bekasi. Gaya hidup, pilihan mobil, arsitektural, apartemen, hingga pilihan tempat  hangout adalah beberapa varian yang terus bergerak dan berkembang.

Tidak jarang, cukup banyak “Anak Jakarta Selatan” yang memilih nongkrong di Mal Metropolitan, Grand Wisata, atau sekedar berkunjung ke Harapan Indah untuk jalan-jalan dan berinvestasi sosial. Ada juga yang sekedar menginap di kala akhir pekan di hotel di Kota Bekasi sebagai momentum akhir pekan keluarga.

Nah di saat yang sama, cukup banyak “Anak Gaul Bekasi” yang memilih Sarinah, Kemang hingga Senopati sebagai tempat pilihan hangout mereka bersama handai taulan dan keluarga. Interaksi ini berjalan terus menerus, kuat dan masif sehingga menghasilkan value-transaction atau transaksi nilai dalam interaksi tersebut.

Hal-hal baik dan maju di DKI Jakarta akan bisa pindah dan ditiru untuk diimplementasikan di Kota Bekasi. Sebaliknya apapun yang sedang happening di Kota Bekasi, sebut saja warung kopi, tempat makan, pilihan bisnis, sentra otomotif bonafid, tempat clothing atau konveksi, akan cepat diduplikasi dan disempurnakan oleh masyarakat DKI Jakarta di wilayahnya.

Saling beradu prestise dan nilai serta berkompetisi antara masyarakat Jakarta dengan masyarakat Bekasi pun tidak terhindarkan. Bukan hanya beradu prestasi, namun juga beradu image dan status. Proses urbanisasi ini sejatinya diwarnai sejumlah peluang investasi di Kota Bekasi.

Tentu peluang investasi disini terutama akan berbicara banyak pada sektor mendasar pada kehidupan manusia, yaitu sandang, pangan dan papan, terutama kebutuhan primer akan papan atau kepemilikan rumah, yang masih menjadi isu krusial hingga tahun 2023.

Secara nasional, masih ada 12,7 juta rumah tangga yang belum memiliki rumah di negara kita. Disini pentingnya industrialisasi perumahan perlu terus digenjot di Kota Bekasi, seperti membentuk ekosistem pembiayaan perumahan. Disini perlu dibangun strategi antara Pemda Kota Bekasi dengan para stakeholder.

Konektivitas Chemistry atau unsur kimiawi Pemda dengan stakeholder akan sangat menentukan untuk meningkatkan rasio KPR Indonesia yang masih masuk kategori rendah. Memang selama ini sudah ada FLPP (Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan), Subsidi Selisih Bunga (SSB) dan Subsidi Bantuan Uang Muka (SBUM).

Namun, itu belumlah cukup. Untuk PNS kita tahu di era dahulu ada Bapertarum yang sekarang bermetaformofosis menjadi BP2BT (Bantuan Pembiayaan Perumahan Berbasis Tabungan) atau Tapera (Tabungan Perumahan Rakyat). Sebagai informasi, pemerintah sudah mengalokasikan Rp7 triliun hingga Rp8 triliun untuk FLPP sepanjang tahun 2017.

Tren KPR secara industri masih positif dan terus berlanjut di tahun 2023, meski Bank Indonesia menaikkan suku bunga acuan menjadi 5,75 %. Menurut hemat penulis ada beberapa terobosan tahun 2023 untuk menjadikan Kota Bekasi sebagai Kota Satelit Primadona bagi DKI Jakarta.

Terobosan itu adalah Penguatan regulasi berupa Perda yang mendukung kemudahan usaha dan berinvestasi (ease of doing business di Kota Bekasi). Ada juga pembangunan vertical housing (rusun atau apartemen) dengan konsep one stop living yang lebih terstruktur.

Artinya rusun atau apartemen disini yang sudah berkolaborasi dengan para stakeholder untuk menghadirkan pelayanan fasilitas kesehatan, pusat pendidikan, pusat perbelanjaan dengan pengelolaan perparkiran yang tertata rapi.

Seluruh fasilitas sudah bisa dijangkau di area rusun atau apartemen mereka tanpa perlu pergi jauh bermacet ria. Disini, konektivitas dengan sarana prasana transportasi menjadi penting, misal akses dengan stasiun, Buss Rapid Transit dan lain sebagainya.

Kemudian Ekosistem pembiayaan perumahan yang bagus antara Pemda Kota Bekasi dengan stakeholder seperti Bank, Swasta, Properti, dan platform ekonomi digital, Penataan RTH (Ruang Terbuka Hijau) juga harus menjadi isu krusial bagi Pemda Kota Bekasi.

Sesuai amanat UU 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, Daerah wajib memenuhi RTH minimal 30% dari luas wilayahnya, 20% dari Pemda, 10% Privat. Artinya harus ada kurang lebih 6500 hektar RTH di Kota Bekasi, terdiri dari 4210 Hektar RTH Publik (20%) dan 2.150 Hektar RTH Privat (10%).

Sementara, hingga saat ini, RTH Kota Bekasi baru mencapai 15% dari total 20%. APBD KOTA BEKASI Tahun 2023 sebanyak 5,93 Triliun harus dipakai sebagai instrumen untuk mengejar dan merealisasikan motto dan semboyan Kota Bekasi bagi rakyat.

Percepatan harus terus dilakukan. Pemda juga harus berakselerasi cepat namun juga tepat. Jangan hanya ingin cepat dan cepat saja, namun mengorbankan koridor peraturan perundangan yang berlaku sehingga rompi oranye bisa menjadi taruhannya, bukan?

Demi mewujudkan transformasi Kota Bekasi yang membangun sosial ekonomi yang berkeadilan dan menjunjung tinggi pemerataan. Infrastruktur dan investasi sosial menjadi penting. Di sini tergantung bagaimana pemda mengorkestrasi infrastruktur menjadi pintu masuk untuk memperlancar peluang investasi dan pembangunan kota secara berkelanjutan dan berkeadilan.

Mari maju terus Kota Bekasi, sebanyak 2,5 juta penduduk menunggu karya, kreasi dan inovasimu! Dengan Motto Patriot dan dengan Semboyan Maju, Sejahtera dan Ihsan, Mari Menyambut Hari Jadi Kota Bekasi yang ke-26. (Danny Richard PT, ASN Pemerintah Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan)

 

Kirim Komentar