Kondisi industri pengolahan nonmigas di tanah air masih menunjukkan geliat yang positif, dengan ditandai dari hasil capaian Purchasing Managers’ Index (PMI) Manufaktur Indonesia yang dirilis oleh S&P Global pada Mei 2023 berada di level 50,3 atau masih dalam fase ekspansi.
Menurut Menteri Perindustrian (Menperin) Agus Gumiwang Kartasasmita, laju aktivitas industri manufaktur ini didukung oleh produktivitas yang masih berjalan, karena pasokan bahan baku terjaga.
“Kita masih harus bersyukur karena kondisi industri manufaktur tetap berada di level ekspansi selama 21 bulan berturut-turut. Meskipun terjadi perlambatan lajunya dibanding bulan lalu, tetapi untuk kondisi permintaan baru dan lapangan kerja masih cukup baik,” katanya dalam keterangan yang diterima, Senin (5/6/2023).
PMI manufaktur Indonesia pada Mei mampu mengungguli PMI manufaktur Malaysia (47,8), Taiwan (44,3), Vietnam (45,3), Korea Selatan (48,4), Inggris (47,1), Belanda (44,2), Jerman (43,2), Prancis (45,7), dan Amerika Serikat (48,4). Bahkan, juga di atas PMI manufaktur Dunia (49,6) dan Zona Eropa (44,8).
Menperin menjelaskan, kondisi perekonomian Indonesia terbilang mampu menghadapi dinamika perekonomian global yang terus melambat.
“Perlambatan ekonomi global yang terjadi sejak akhir tahun 2022, turut membawa dampak pada daya beli konsumen dalam negeri,” ungkapnya.
Situasi itu juga memengaruhi nilai Indeks Kepercayaan Industri (IKI) pada Mei 2023 yang ekspansinya sedikit terjun dibandingkan dengan bulan sebelumnya.
“IKI bulan Mei berada di posisi 50,9. Dapat dilihat bahwa hasil PMI manufaktur sejalan dengan hasil IKI yang telah kami rilis pada akhir Mei kemarin,” tutur Agus.
Guna mengembalikan kinerja industri manufaktur nasional, Menperin menegaskan, pihaknya fokus untuk menjalankan kebijakan pengoptimalan terhadap produk lokal melalui program Peningkatan Penggunaan Produk Dalam Negeri (P3DN).
“Kami akan terus pacu permintaan domestik melalui program P3DN. Belanja kementerian/lembaga dan pemerintah daerah akan terus dipantau terutama yang memiliki anggaran belanja besar selama ini,” paparnya.
Adapun realisasi belanja produk dalam negeri oleh kementerian/lembaga, pemerintah pusat, pemerintah daerah dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) pada tahun 2022 mencapai Rp762 triliun, sedangkan target tahun ini sebesar Rp1.100 triliun.
“Para pelaku industri manufaktur harus dapat memanfaatkan peluang tersebut untuk mengembangkan bisnis usahanya, dengan menciptakan produk yang berkualitas dan kompetitif,” tegas Agus.
Selanjutnya, aksi afirmasi Bangga Buatan Indonesia (BBI) diharapkan juga dapat meningkatkan permintaan produk manufaktur dalam negeri.
Oleh karena itu, lanjut Agus, upaya yang perlu dilakukan dalam pelaksanaan temu bisnis atau business matching produk dalam negeri, antara lain adalah penajaman identifikasi kebutuhan produk belanja pemerintah, peningkatan jumlah produk industri dalam negeri sebagai substitusi impor, peningkatan jumlah peserta showcase dalam negeri, pembelian secara langsung melalui e-katalog, dan pelibatan masyarakat umum.
“Apabila permintaan produk dalam negeri terus menguat, kami optimistis laju PMI manufaktur dan IKI akan kembali melambung. Bahkan, Kementerian Perindustrian juga fokus untuk menjalankan kebijakan strategis lainnya seperti hilirisasi industri,” jelasnya. I