Badan Karantina Indonesia (Barantin) menekankan percepatan layanan, sekaligus penyederhanaan regulasi karantina ikan yang terus diusahakan.
Kegiatan tersebut dimaksudkan untuk melindungi sumber daya hayati Indonesia dan meningkatkan daya saing produk perikanan Indonesia.
Menurut Kepala Barantin Sahat Manaor Panggabean, Indonesia memiliki kekayaan biodiversitas laut terbesar di dunia dan posisi tersebut sekaligus rentan terhadap ancaman Hama dan Penyakit Ikan Karantina (HPIK).
Percepatan layanan dan penyederhanaan regulasi ini tetap harus mengedepankan kehati-hatian untuk memastikan kesehatan komoditas, lanjutnya, sehingga sumber daya alam hayati terlindungi.
“Perlu SOP (Standar Operasional Prosedur) untuk menyeragamkan layanan di seluruh Indonesia,” ujarnya di Bandung, Jawa Barat.
Salah satu usaha untuk menyeragamkan SOP, dilakukan dengan Rapat Teknis Barantin bertema Harmonisasi Kebijakan Operasional dan Penegakan Hukum dalam Rangka Percepatan Pelayanan Perkarantinaan Ikan di Bandung pada 7 – 9 Mei 2025.
Kegiatan tersebut, dia menambahkan, bertujuan agar ada transformasi sistem perkarantinaan supaya lebih efisien, adaptif dan kompetitif dalam perdagangan global, sesuai arahan Presiden Prabowo Subianto.
“Harmonisasi kebijakan operasional dan penegakan hukum karantina ikan ini sebagai bentuk upaya Barantin mempercepat layanan. Sesuai arahan Presiden bulan lalu, percepat layanan dan penyederhanaan regulasi,” tuturnya.
Sejauh ini, kata Sahat, berdasarkan data Best Trust (Barantin Electronic System for Transaction and Utility Service Technology) waktu layanan karantina rata-rata sudah mencapai 8,5 jam untuk komoditas risiko rendah dan sedang, lebih cepat dari tahun lalu yang rata – ratanya 9 jam.
Pencapaian tersebut jauh lebih cepat dari janji layanan atau Service Level Agreement (SLA), sedangkan untuk yang risiko rendah, waktu karantinanya selama 24 jam dan risiko sedang selama satu hari hingga tiga hari. I