Kebijakan perdagangan yang berkelanjutan merupakan bagian tulang punggung yang menopang ekonomi baru ASEAN.
Menurut Wakil Menteri Perdagangan (Wamendag) Dyah Roro Esti Widya Putri meyakini, kebijakan perdagangan yang berkelanjutan merupakan bagian tulang punggung yang menopang ekonomi baru ASEAN.
Bagian lain yang turut menopang ekonomi baru ASEAN meliputi ekonomi hijau dan infrastruktur digital.
Keyakinan ini disampaikan Wamendag Roro dalam sambutannya pada Panel 2 17th ASEAN and Asia Forum di Singapura pada Selasa (5/8/2025).
Sesi Panel 2 tersebut mengusung tema Powering Innovation and the New Economy.
Forum digelar oleh Singapore Institute of International Affairs (SIIA) yang menggandeng Asian Council of Economic Policy dan mengusung tema besar The Global Future and Challenge Ahead.
Menurut Wamendag, Indonesia siap berkolaborasi dengan negara – negara tetangga ASEAN dan mitra global untuk membentuk ekosistem perdagangan yang mendukung inovasi, inklusivitas dan keberlanjutan.
ASEAN dihadapkan pada dua keharusan, yaitu memperkuat ketahanan ekonomi, sekaligus memastikan pertumbuhan berkelanjutan, inklusif dan sadar iklim.
“Hal ini seiring dengan kemajuan agenda ASEAN menuju ekonomi yang terintegrasi dan digerakkan inovasi,” jelasnya.
Wamendag Roro menambahkan, keberlanjutan saat ini menjadi pilar penting dalam diplomasi perdagangan Indonesia.
Dalam beberapa tahun terakhir, Indonesia telah merundingkan Comprehensive Economic Partnership Agreement (CEPA) yang mencakup komitmen yang jelas mengenai perilaku bisnis yang bertanggung jawab, kerja sama lingkungan, dan pembangunan berkelanjutan, seperti Indonesia – EU CEPA dan Indonesia – Korea CEPA.
Di luar perjanjian formal, Indonesia juga secara aktif berpartisipasi dan memprakarsai platform kebijakan, seperti Sustainable Global Value Chain Policy Dialogue yang diselenggarakan bersama oleh Kementerian Perdagangan (Kemendag) dan Centre for Strategic and International Studies (CSIS).
Forum ini bertujuan untuk membangun konsensus di seluruh sektor publik dan swasta mengenai pengadaan yang berkelanjutan, standar kerja yang layak dan kepatuhan terhadap ESG atau Environmental, Social and Governance (Lingkungan, Sosial dan Tata Kelola/LST).
“Upaya – upaya ini mewakili komitmen Indonesia yang lebih luas untuk mempersiapkan kebijakan perdagangan dan industri yang tahan uji di masa depan. Tepatnya, memastikan bahwa upaya Indonesia untuk mencapai pertumbuhan ekonomi tetap berpijak pada pengelolaan lingkungan hidup dan keberlanjutan jangka panjang,” jelas Wamendag.
Salah satu pendorong utama untuk transformasi ASEAN terletak pada perdagangan yang berkelanjutan.
Indonesia menyaksikan peningkatan tajam dalam permintaan global untuk barang – barang yang diproduksi secara berkelanjutan, terutama di pasar, seperti Uni Eropa, yang telah memperkenalkan peraturan, seperti EU Deforestation – Free Regulation (EUDR) dan Carbon Border Adjustment Mechanism (CBAM).
Australia dan Selandia Baru juga telah menanamkan standar ramah lingkungan dalam sistem perdagangan dan pengadaan mereka, dan di dalam ASEAN, pelabelan ramah lingkungan, serta sertifikasi keberlanjutan menjadi prasyarat untuk akses pasar.
Wamendag menilai, perkembangan ini bukan sebagai hambatan, tetapi sebagai peluang strategis untuk memposisikan ulang basis ekspor Indonesia menuju produk yang bernilai lebih tinggi dan sadar lingkungan.
Untuk menanggapi tren ini, Indonesia mengoptimalkan daya saing industri dengan mendorong kepatuhan terhadap standar keberlanjutan internasional.
Indonesia juga mengembangkan platform penelusuran untuk komoditas utama dan memasukkan penilaian siklus hidup ke dalam strategi perdagangan.
Upaya – upaya ini bertujuan untuk memastikan bahwa produk Indonesia tetap kredibel dan menarik di pasar yang peka terhadap keberlanjutan.
Secara paralel, Kemendag sangat mendukung pengembangan pasar karbon yang kuat dan inklusif.
Hal ini seperti peluncuran IDXCarbon yang otoritas regulasinya berada di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, serta Otoritas Jasa Keuangan (OJK), penerbitan Renewable Energy Certificates (REC) atau dengan memberikan insentif berbasis pasar bagi industri untuk mengadopsi jalur energi yang lebih bersih.
Dunia diwarnai ketegangan geopolitik, kebijakan proteksionis dan tantangan terkait iklim.
Ancaman yang dihadapi dunia tidak hanya bersifat ekonomi, tetapi juga bersifat lingkungan.
Tantangan – tantangan ini menuntut transformasi yang berani, terutama bagi negara – negara berkembang, seperti Indonesia, harus bertransisi menuju ekonomi hijau atau yang berakar pada energi bersih dan pembangunan rendah karbon.
Dengan sumber daya alamnya yang besar, Indonesia siap untuk melakukan transformasi energi.
Indonesia memiliki potensi yang signifikan dalam tenaga surya, angin, tenaga air, dan bioenergi.
Potensi ini tidak hanya akan mendukung upaya memitigasi perubahan iklim, tetapi juga memperkuat ekonomi hijau Indonesia.
Transformasi menuju energi rendah karbon bukan lagi sebuah pilihan, melainkan sebuah keharusan untuk menjaga keberlanjutan ekonomi dan lingkungan.
Sebagai bagian dari komitmen Indonesia terhadap Perjanjian Paris, Indonesia telah menetapkan target pengurangan emisi karbon sebesar 31,89% pada tahun 2030, dengan potensi peningkatan hingga 43,2%, dengan dukungan internasional.
Hal ini menunjukkan bahwa Indonesia tidak hanya peduli terhadap lingkungan, tetapi juga melihat hal ini sebagai peluang untuk meningkatkan daya saing global melalui penerapan teknologi bersih.
Hadir sebagai panelis, yaitu Direktur Divisi Energi Baru Kementerian Perdagangan dan Perindustrian Singapura Eugene Kwok, Direktur Strategi dan Tata Kelola Hilirisasi Kementerian Investasi dan Hilirisasi Ahmad Faisal Suralaga, serta Chief Executive Officer Southeast Asia ST Telemedia Global Data Centres Lionel Yeo.
Bertindak sebagai moderator Chair Public Sector Structured Finance Asia Pacific SMBC Satya Ramamurthy. I