Memasuki era Society 5.0 diprediksi akan menjadikan pasar kerja semakin kompetitif dengan melimpahnya Sumber Daya Manusia (SDM) menjelang bonus demografi 2045.
Untuk itu, kata Sekretaris Jenderal Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) Anwar Sanusi, diperlukan strategi khusus untuk mengatasi kekhawatiran kurangnya lapangan kerja, ketidakpastian persaingan kerja hingga persiapan memasuki usia penduduk tua.
“Perguruan tinggi memiliki peran penting dalam upaya mengatasi masalah ketenagakerjaan. Karena konsekuensi setelah lulus perkuliahan adalah masuk ke dunia kerja,” ujarnya saat kuliah umum bertema Tantangan dan Kebijakan Ketenagakerjaan dalam Dunia Kerja Modern di Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung, Jawa Barat.
Anwar menyarankan perguruan tinggi untuk memastikan program pendidikannya telah mencakup mata kuliah dan kurikulum yang relevan dengan kebutuhan dan tuntutan dunia kerja.
“Termasuk juga agar selalu menghadirkan dosen berpengalaman dan praktisi industri sebagai pengajar tamu untuk memberikan wawasan praktis kepada mahasiswa dan alumni,” katanya.
Menurut Anwar, agar bekerja sama dengan perusahaan dan organisasi di sekitar perguruan tinggi untuk menyediakan kesempatan magang dan pekerjaan bagi mahasiswa, serta alumni.
Dia meminta perguruan tinggi memberikan pelatihan keterampilan tambahan, seperti soft skill komunikasi, kepemimpinan dan kolaborasi tim kepada mahasiswa dan alumni.
“Selain itu, menyediakan forum atau acara jaringan alumni yang memungkinkan mahasiswa dan alumni untuk terhubung satu sama lain maupun dengan profesional yang berpengalaman sehingga dapat memberikan peluang kerja, mentorship dan dukungan dalam membangun karir,” jelasnya.
Anwar mengungkapkan, sebanyak 1,8 juta lulusan SMA/SMK/MA setiap tahun tidak tertampung perguruan tinggi dan masuk ke pasar kerja.
Pola permintaan tenaga kerja di masa depan memiliki dua pola, yakni Pertama, pekerjaan-pekerjaan akan bersentuhan dengan pemanfaatan teknologi (hardskill digital).
Kedua, dari sisi softskill, kemampuan analitis, orientasi pemecahan masalah, kreativitas, dan komunikasi sangat diperlukan.
“Namun demikian, keterampilan digital yang dimiliki tenaga kerja Indonesia masih bersifat teoritis dan umum, sehingga terjadi kesenjangan dari sisi supply dan demand,” tuturnya. I