Presiden Joko Widodo (Jokowi) menandatangani Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja pada 30 Desember 2022.
Aturan tersebut menjadi pengganti UU Nomor 11 Tahun 2020 Cipta Kerja yang dinyatakan inkonstusional bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi (MK).
Alasan pemerintah, penerbitan Perppu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja dilakukan dengan mempertimbangkan kebutuhan mendesak dalam mengantisipasi kondisi global, baik yang terkait ekonomi maupun geopolitik.
Salah satu pasal yang diprotes serikat pekerja adalah pengaturan outsourcing atau tenaga alih daya yang ketentuannya diperbarui Presiden Jokowi di UU Cipta Kerja.
Sesuai dengan Pasal 64 Perppu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja, perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain melalui perjanjian alih daya yang dibuat secara tertulis.
Pemerintah akan menetapkan jenis pekerjaan yang bisa dialihdayakan tersebut melalui peraturan pemerintah.
Menurut Sekretaris Jenderal Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI) Timboel Siregar, adanya kewenangan untuk menetapkan jenis-jenis pekerjaan yang bisa dialihdayakan melalui penerbitan PP berarti membuka ruang bagi pemerintah untuk merevisi aturan sebelumnya tentang pekerjaan alih daya.
“Hal ini dikhawatirkan justru akan menimbulkan ketidakpastian bagi pekerja dan pengusaha. Jika pemerintah tidak ingin substansi aturan pekerjaan alih daya kembali seperti UU Nomor 13 Tahun 2003, konsekuensinya adalah ada peluang pekerjaan inti bisa dialihdayakan,” jelasnya.
Apabila ini terjadi, Timboel menambahkan, akan muncul diskriminasi di tempat kerja. Sejauh ini, banyak serikat buruh menolak substansi Perppu No 2/2022.
“Mengenai pekerjaan alih daya, para serikat pekerja menyatakan seharusnya pemerintah menegaskan jenis dan jumlah pekerjaan yang boleh dialihdayakan dan yang tidak,” ungkapnya.
Ketentuan alih daya dalam UU Nomor 13 Tahun 2003 terletak pada Pasal 64, 65 dan 66.
Pada Pasal 64 UU Nomor 13 Tahun 2003 disebutkan, perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja/buruh yang dibuat secara tertulis.
Kemudian, sesuai Pasal 65 Ayat (2), pekerjaan yang dapat dialihdayakan harus memenuhi empat syarat.
Pertama, dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama. Kedua, dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung dari pemberi pekerjaan.
Ketiga, merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan. Keempat, tidak menghambat proses produksi secara langsung.
Ssesuai dengan Pasal 66 Ayat (1) UU Nomor 13 Tahun 2003, pekerja dari perusahaan penyedia jasa pekerja tidak boleh digunakan oleh pemberi kerja untuk melaksanakan kegiatan pokok atau kegiatan yang berhubungan langsung dengan proses produksi, kecuali untuk kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi.
Kegiatan tersebut meliputi pelayanan kebersihan, penyediaan makanan, usaha tenaga pengaman, jasa penunjang di pertambangan dan perminyakan, serta penyediaan angkutan pekerja. I