Industri baja dalam negeri masih mengalami ketidakseimbangan yang sangat besar antara kebutuhan baja dengan jumlah produksi nasional.
Hal tersebut disampaikan Wakil Menteri Perindustrian (Wamenperin) Faisol Riza dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi VI DPR di Senayan, Jakarta.
Menurutnya, gap ini diisi oleh produk impor sekitar 55% kebutuhan nasional dan mayoritas dari Tiongkok, sedangkan utilisasi industri baja nasional sebesar kurang lebih 50%.
“Jadi, industri baja nasional yang idle karena produknya tidak terserap pasar juga cukup banyak,” jelas Wamenperin Riza.
Kondisi tersebut, dia menambahkan, disebabkan karena produksi baja dalam negeri hanya terfokus pada sektor konstruksi dan infrastruktur.
Sementara itu, sektor lain yang menurut Wamenperin Riza bernilai tinggi seperti otomotif, perkapalan, alat berat dan lain – lain masih relatif terbatas.
“Padahal, sector – sektor ini memerlukan jenis baja dengan spesifikasi khusus, seperti alloy steel atau special steel baja khusus yang memiliki potensi pasar besar baik di dalam negeri maupun luar negeri,” tuturnya.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2021, jumlah perusahaan, berdasarkan Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI) 24 produsen logam dasar terdiri dari 562 perusahaan, lalu KBLI 25 produsen barang logam, bukan mesin, dan peralatannya1.592 perusahaan.
Selain itu, industri baja dalam negeri juga mengalami tantangan kualitas mesin produksi yang sudah tua dan ini juga yang menyebabkan baja nasional tidak dapat berdaya saing.
“Sebagian besar produsen masih menghadapi tantangan dalam hal teknologi dan modernisasi peralatan produksi, di mana sebagian besar mesin dan teknologi yang digunakan sudah berumur tua dan belum sepenuhnya ramah lingkungan,” ungkap Wamenperin Riza.
Kondisi tersebut, lanjutnya, memengaruhi kualitas dan biaya produksi, sehingga menjadi hambatan dalam upaya menuju industri baja yang punya daya saing, berkelanjutan dan berstandar global.
Kementerian Perindustrian (Kemenperin) mencatat produksi baja Indonesia menempati peringkat 14 dunia pada tahun 2024 sebesar 18 juta ton, naik 110% dari tahun 2019.
Sementara itu, total produksi baja pasar dunia pada tahun 2024 sebagai informasi sebesar 1,084 miliar ton, dengan negara Tiongkok merupakan produsen terbesar dengan produksi baja kasar sebesar 1,005 miliar ton atau 53,3% produksi dunia.
“Kemudian, di susul India sebesar 149,4 juta ton atau sekitar 7,9% produk dunia. Industri baja nasional saat ini menunjukkan tingkat rata-rata utilisasi sebesar 52,70%,” jelas Wamenperin Riza.
Saat ini, sektor industri logam dasar menunjukkan kinerja yang kuat, dengan pertumbuhan mencapai 18,6% pada Triwulan III/2025 dan menjadi penyumbang investasi terbesar nasional dengan nilai mencapai Rp196,4 triliun.
Selain itu, sektor ini juga menjadi penyumbang investasi terbesar nasional, dengan nilai investasi mencapai Rp196,4 triliun.
Industri baja, dikatakan Wamenperin Riza memiliki peran penting sebagai tulang punggung pembangunan nasional, karena mendukung berbagai sektor seperti konstruksi, otomotif, perkapalan dan alat berat.
“Melalui sinergi antara Kementerian Perindustrian, DPR RI dan pelaku industri, saya meyakini bahwa industri baja nasional akan semakin mandiri, efisien, serta berdaya saing di tingkat global,” ujarnya. I





