Sebanyak 42% dari total 514 kabupaten/kota di Indonesia memiliki risiko bencana yang tinggi.
Menurut Deputi Bidang Sistem dan Strategi Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Raditya Jati, menurut Indeks Risiko Bencana Indonesia (IRBI) Tahun 2020, sisanya memiliki risiko bencana sedang.
“Oleh sebab itu, penguatan resiliensi bukanlah suatu pilihan, melainkan sebuah tanggung jawab yang sangat diperlukan,” ujarnya dalam rangkaian kegiatan Pertemuan Awal Global Platform for Disaster Risk Reduction (GPDRR) 2022 yang dimulai Senin (23/5/2022).
Salah satu kegiatan yang digelar dalam agenda itu adalah Local Leaders Forum: Toward Inclusive, Safe, Resilient and Sustainable Cities.
Pada kesempatan ini, perwakilan kepala daerah dari berbagai negara membagikan komitmen dan praktik baik dalam upaya penguatan pembangunan berkelanjutan di wilayah masing-masing.
Raditya menyatakan, tidak ada solusi tunggal dalam penanggulangan bencana yang dapat digunakan untuk konteks yang sama di daerah berbeda.
Hal ini, lanjutnya, memposisikan pemerintah daerah menjadi ujung tombak untuk meningkatkan pembangunan yang tangguh dan berkelanjutan.
Dalam tatanan global, program Making Cities Resilient 2030 (MCR 2030) mendukung penguatan resiliensi suatu kota untuk memastikan kota atau kabupaten menjadi inklusif, aman, tangguh, dan berkelanjutan pada tahun 2030.
Pada forum ini, beberapa pemerintah daerah di Indonesia berkesempatan untuk berbagi pengalamannya dalam membangun daerah tangguh bencana.
Di Kota Palu, misalnya pada tahun 2018 gempa memicu bencana besar lainnya yaitu tsunami dan likuifaksi.
Pemerintahan Kota Palu sempat lumpuh, salah satu strategi untuk bangkit adalah menyediakan bantuan permodalan untuk membangkitkan kembali perekonomian lokal.
Selain itu, penguatan masyarakat di tingkat mikro kelembagaan pada saat terjadi bencana juga dilakukan melalui pendekatan kearifan lokal.
“Kami memiliki gerakan Roa Bantu Roa atau Roa Jaga Roa, yang artinya adalah teman bantu teman. Hal ini sangat efektif, khususnya pada saat pandemi Covid-19,” ungkap Wakil Wali Kota Palu Reny A. Lamadjido.
Sementara itu, di Provinsi Bali yang memiliki beberapa potensi bencana, pengurangan risiko bencana didasarkan pada tiga unsur tatanan kehidupannya, yaitu Tuhan, alam, dan manusia atau yang akrab disebut Tri Hita Karana.
Tatanan tersebut dijadikan dasar dalam menentukan kebijakan untuk membangun ketangguhan Bali.
Dalam hal merespons jika terjadi bencana, para pemangku di desa adat Bali akan membunyikan Kul-Kul yang merupakan sirine tradisional.
“Sementara saat pandemi Covid-19 yang muncul pertama kali di Bali pada 10 Maret 2020, kami membentuk satuan tugas di desa adat untuk merespons secara cepat dan masif,” tutur Wayan Koster, Gubernur Provinsi Bali. I