Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) memberikan peringatan potensi terjadinya El Nino di Indonesia pada tahun 2023.
Kepala Badan BMKG Dwikorita Karnawati menjelaskan, El Nino dapat menyebabkan beberapa dampak pada Indonesia, seperti kekeringan dan minimnya curah hujan yang terjadi.
El Nino juga disebut akan berpotensi meningkatkan jumlah titik api dan kondisi kerawanan kebakaran hutan dan lahan (Karhutla).
“Langkah-langkah strategis perlu dilakukan pemerintah untuk mengantisipasi dampak lanjutan. Utamanya sektor-sektor yang sangat terdampak seperti sektor pertanian, terutama tanaman pangan semusim yang sangat mengandalkan air,” ujarnya.
Situasi saat ini, lanjut Dwikorita, perlu diantisipasi agar tidak berdampak pada gagal panen yang dapat berujung pada krisis pangan.
Mengenal fenomena El Nino El Nino adalah fenomena pemanasan Suhu Muka Laut (SML) di atas kondisi normal yang terjadi di Samudra Pasifik bagian tengah dan timur.
Adanya pemanasan SML itu mengakibatkan bergesernya potensi pertumbuhan awan dari wilayah Indonesia ke wilayah Samudra Pasifik tengah sehingga akan mengurangi curah hujan di wilayah Indonesia.
“Kombinasi dari fenomena El Nino dan IOD Positif yang diprediksi akan terjadi pada Semester II 2023 dapat berdampak pada berkurangnya curah hujan di sebagian besar wilayah Indonesia selama periode musim kemarau 2023,” ungkap Dwikorita.
“Bahkan, sebagian wilayah diprediksi akan mengalami curah hujan dengan kategori Bawah Normal atau lebih kering dari kondisi normalnya hingga mencapai hanya 20 mm per bulan dan beberapa wilayah mengalami kondisi tidak ada hujan sama sekali atau 0 mm per bulan,” tuturnya.
Dwikorita mengatakan, ada sejumlah langkah strategis yang bisa dilakukan, yaitu dengan mengoptimalkan penggunaan infrastruktur pengelolaan sumber daya air seperti waduk, bendungan, embung, dan sebagainya untuk menyimpan air di sisa musim hujan agar dapat dimanfaatkan pada periode musim kemarau.
Langkah tersebut dilakukan untuk mengurangi risiko kekurangan air baik bagi kebutuhan masyarakat maupun untuk kebutuhan pertanian.
Selain itu, Dwikorita mengatakan, pihaknya akan lebih melakukan upaya pencegahan dan mensiagakan upaya penanggulangan kebakaran hutan dan lahan untuk mengantisipasi meningkatnya potensi karhutla, terutama wilayah atau provinsi yang rawan terjadi kebakaran hutan dan lahan.
“Upaya pencegahan harus lebih ditekankan dibandingkan pemadaman karena langkah ini lebih efektif untuk menghindari dampak yang luas. Pengetahuan dan pemahaman masyarakat perlu terus ditingkatkan dalam memahami pengelolaan hutan dan lahan, potensi ekonomi lokal dan pengolahan hasil produksi hutan dan lahan menjadi bernilai tambah,” ujarnya.
BMKG terus melakukan pemantauan untuk mendeteksi titik panas atau hot spot menggunakan satelit dan jika BMKG mendeteksi potensi karhutla, maka secara resmi BMKG akan mengeluarkan peringatan dini.
Sementara itu, Plt Kepala Pusat Perubahan Iklim BMKG Fachri Rajab menuturkan, hasil pemantauan BMKG terhadap 699 Zona Musim (ZOM) hingga akhir Mei 2023 yang menunjukkan bahwa sebanyak 28% (194 ZOM) di wilayah Indonesia sudah masuk periode musim kemarau.
Sementara itu, 56% wilayah lainnya (392 ZOM) masih mengalami musim hujan.
Fachri menegaskan, pihaknya telah memprakirakan bahwa puncak kemarau di Indonesia pada tahun ini akibat dari fenomena El Nino akan berlangsung pada beberapa bulan yang akan datang.
“Puncak musim kemarau diprakirakan akan terjadi pada Juli, Agustus dan September 2023, yaitu sebanyak 582 ZOM (83%). Dibandingkan dengan normal, puncak musim kemarau 2023 diprakirakan SAMA pada 390 ZOM (55,8%), MAJU pada 174 ZOM (24,9%), dan MUNDUR sebanyak pada 135 ZOM (19,3%),” tuturnya. I