Ini Strategi Baru Industrialisasi Nasional

Menteri Perindustrian (Menperin) Agus Gumiwang Kartasasmita menyampaikan kuliah umum di Universitas Hiroshima, Jepang dengan mengusung tema Strategi Baru Industrialisasi Indonesia untuk Ketahanan Pangan dan Energi.

Kegiatan ini dalam rangka kunjungan kerja di Negeri Sakura seusai menghadiri World Expo Osaka 2025.

Dalam forum akademik yang dihadiri oleh mahasiswa, dosen, peneliti dan kalangan industri Jepang, Menperin menjelaskan, Indonesia kini tengah mengembangkan pendekatan baru dalam industrialisasi yang berpijak pada konteks global yang berubah cepat, sekaligus menjawab tantangan dalam negeri yang kian kompleks.

“Pemerintah Indonesia telah meluncurkan Asta Cita, sebuah visi pembangunan nasional yang mencakup delapan misi besar. Enam di antaranya kini telah dioperasionalkan melalui sebuah kerangka strategis yang disebut sebagai Strategi Baru Industrialisasi Nasional (SBIN),” kata Menperin di Univesritas Hiroshima, baru – baru ini.

Menperin menegaskan, SBIN ini bukanlah sekadar lanjutan dari pendekatan masa lalu, melainkan pembaharuan dari gagasan – gagasan terbaik dalam ekonomi pembangunan, yang telah disesuaikan dengan konteks Indonesia dan tertanam dalam realitas global yang multipolar, terdigitalisasi dan bergerak menuju dekarbonisasi.

Untuk mewujudkan visi besar tersebut, Kemenperin menjalankan empat program utama yang saling terkait dan saling menguatkan dalam kerangka SBIN.

Program pertama adalah hilirisasi sumber daya alam. “Hilirisasi bukan lagi jargon politik semata, melainkan bentuk nyata dari pergeseran struktural dalam model ekonomi.”

Menperin mencontohkan, hingga tahun 2019, Indonesia masih mengekspor nikel, bauksit dan minyak sawit dalam bentuk mentah.

Produk – produk ini menciptakan nilai tambah yang rendah, lapangan kerja yang terbatas dan menghasilkan keuntungan yang tidak stabil.

Namun sejak saat itu, pemerintah mulai mewajibkan pengolahan sumber daya tersebut di dalam negeri melalui kebijakan hilirisasi.

“Transformasi ini terlihat jelas di Kawasan Industri Morowali, Sulawesi Tengah. Dahulu merupakan daerah yang relatif terisolasi, kini Morowali menjelma menjadi pusat industri yang kompetitif secara global, menjadi rumah bagi klaster perusahaan multinasional di sektor pemurnian nikel dan komponen baterai,” tuturnya.

Di kawasan itu, puluhan ribu tenaga kerja Indonesia kini terlibat dalam produksi baja nirkarat dan nikel sulfat berkualitas tinggi untuk baterai.

Model serupa juga tengah diterapkan pada komoditas lainnya seperti bauksit, tembaga dan minyak sawit.

“Bahkan saat ini, Indonesia sedang memasuki rantai nilai baru untuk komoditas strategis, seperti kobalt, litium dan tanah jarang, yakni unsur – unsur penting dalam mendukung transisi energi hijau global,” jelasnya.

Program kedua, pentingnya penguasaan teknologi industri. Menperin menjelaskan, melalui peta jalan Making Indonesia 4.0, pemerintah memacu transformasi industri dari sistem produksi tradisional menuju sistem yang lebih cerdas, terhubung dan terintegrasi secara digital.

“Di sektor tekstil, misalnya, kini telah diimplementasikan penenunan berbasis sensor dan sistem pewarnaan tanpa limbah. Selanjutnya, di sektor makanan dan minuman, teknologi blockchain diterapkan untuk ketertelusuran produk dari hulu ke hilir, sedangkan pada sektor komponen otomotif, integrasi teknologi mendorong perakitan robotik dan sistem logistik just in time,” ujar Menperin.

Menurutnya, perubahan ini tidak hanya menyasar perusahaan besar. Ribuan Industri Kecil dan Menengah (IKM) juga telah diperkenalkan pada teknologi serupa melalui pusat – pusat keunggulan dan pelatihan yang didanai oleh pemerintah, termasuk kerja sama erat dengan lembaga pelatihan dan industri di Jepang.

Agus menuturkan, program ketiga adalah industrialisasi hijau, yang menyatakan bahwa era pembangunan yang mengorbankan lingkungan demi pertumbuhan ekonomi telah usai.

Pasalnya, pasar, pemodal dan regulator kini menuntut industri untuk memenuhi prinsip – prinsip keberlanjutan, sehingga strategi industrialisasi Indonesia kini mengadopsi prinsip ecological modernization.

Contohnya, di Kawasan Industri Batang, Jawa Tengah, pemerintah telah mewajibkan sistem penggunaan kembali air limbah, efisiensi energi dan penerapan simbiosis industri.

Pada wilayah Jawa Barat, limbah dari pabrik minyak kelapa sawit diolah menjadi biogas dan digunakan sebagai bahan bakar industri.

Di Sumatra, pabrik semen memanfaatkan abu terbang (fly ash) dari pembangkit listrik sebagai bahan baku alternatif.

“Semua upaya ini menjadi bagian dari transisi menuju ekonomi sirkular. Indonesia tidak hanya ingin memenuhi standar ESG (Environmental, Social and Governance), tetapi juga ingin menurunkan biaya produksi, meningkatkan daya saing industri, serta menarik lebih banyak investasi hijau,” ujarnya.

Untuk program keempat, Menperin menyoroti pentingnya pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM) sebagai fondasi dari keberhasilan industrialisasi.

Tanpa adanya tenaga kerja yang terampil, insinyur, wirausahawan dan inovator, semua strategi tidak akan berjalan optimal.

Oleh karena itu, pemerintah terus memperkuat pendidikan vokasi melalui pembangunan politeknik, revitalisasi pusat kejuruan dan pemanfaatan platform pembelajaran digital.

Jepang, kata Menperin, telah memainkan peran sangat penting dalam proses tersebut, bahkan melalui kerja sama dengan berbagai institusi pendidikan dan industri Jepang, Indonesia kini memiliki kurikulum bersama di bidang robotika, permesinan presisi, otomatisasi pabrik, dan material berkelanjutan.

“Lulusan dari program ini tidak hanya mendapatkan gelar akademik, tetapi juga keterampilan yang relevan secara global serta pengalaman langsung di dunia industri,” jelasnya.

Menperin berharap, kolaborasi Indonesia dan Jepang di bidang pendidikan dan industri akan semakin kuat di masa depan.

Dia mengajak seluruh peserta untuk bersama – sama membangun masa depan industri yang berkelanjutan, tangguh, dan inklusif, demi menghadapi tantangan global, serta mewujudkan ketahanan nasional di bidang pangan, energi, dan kesehatan.

Dalam kuliah umum tersebut, Menperin juga menekankan bahwa strategi industrialisasi Indonesia saat ini dibangun di atas prinsip kedaulatan.

Namun, lanjutnya, kedaulatan yang dimaksud bukanlah bersifat isolatif, melainkan sebagai bentuk kapasitas dan kemampuan nyata dalam mengelola sumber daya, serta sistem produksi secara mandiri.

Dalam konteks ketahanan pangan, misalnya, kedaulatan berarti Indonesia tidak cukup hanya menanam padi, tetapi juga harus mampu mengolah, menyimpan, mendistribusikan dan menjamin akses nutrisi yang merata ke seluruh pelosok nusantara.

Sementara itu, dalam bidang energi, kedaulatan tidak sekadar berarti menambang batu bara atau gas alam, tetapi mencakup pengembangan kilang domestik, produksi biofuel, pemanfaatan teknologi energi terbarukan, hingga pembangunan infrastruktur penyimpanan, transmisi dan inovasi energi berkelanjutan.

Menperin Agus juga menyinggung pentingnya kedaulatan di sektor kesehatan, terutama sebagai pelajaran dari pandemi Covid-19.

Menurutnya, Indonesia tidak bisa terus bergantung pada impor vaksin atau alat kesehatan. “Negara harus mampu memproduksi bahan baku farmasi aktif, membangun ekosistem biofarma yang kuat dan melatih para ilmuwan dan tenaga kesehatan lokal yang mumpuni, agar dapat melindungi populasi nasional dari ancaman pandemi di masa depan”.

Dalam forum tersebut, Menperin menegaskan bahwa strategi industrialisasi Indonesia hari ini dibangun dengan kesadaran historis dan pemahaman konseptual yang kuat.

Dia merujuk pada pemikiran ekonomi terkemuka Indonesia, Profesor Sumitro Djojohadikusumo, yang telah lama menegaskan bahwa industrialisasi bukan sekadar aktivitas ekonomi, melainkan sebuah proyek politik dan peradaban.

Mengambil inspirasi dari pemikiran Strukturalis Amerika Latin, Sumitro memperingatkan bahwa negara – negara yang hanya bergantung pada ekspor bahan mentah akan terjebak dalam siklus ketergantungan, kerentanan dan keterbelakangan.

Pandangan ini selaras dengan Hipotesis Prebisch-Singer, yang menunjukkan bagaimana harga komoditas primer cenderung menurun relatif terhadap produk manufaktur.

“Oleh karena itu, Prof Sumitro mendorong pembangunan pabrik baja, industri pupuk, pengolahan hasil pertanian, hingga penguatan rekayasa nasional sebagai jalan keluar dari struktur ekonomi kolonial yang stagnan,” ujarnya.

Lebih lanjut, Agus juga mengaitkan strategi industri saat ini dengan model Dual Sector milik Arthur Lewis, yang menjelaskan bahwa pembangunan ekonomi bergantung pada transformasi tenaga kerja dari sektor pertanian tradisional ke sektor industri modern yang lebih produktif.

Dalam kerangka ini, industrialisasi tidak cukup dipahami sebagai akumulasi investasi semata, melainkan sebagai perubahan struktural dalam sistem tenaga kerja, kelembagaan dan penciptaan nilai tambah.

Menperin juga menyinggung pendekatan take-off dalam model pertumbuhan ekonomi W.W. Rostow dan menyatakan bahwa Indonesia kini berada pada Fase Lepas Landas dalam banyak sektor industrinya.

“Kita tidak lagi sekadar berusaha untuk melakukan industrialisasi. Kita sedang mencoba untuk merestrukturisasi industrialisasi kita, agar tidak hanya menguntungkan sebagian kecil masyarakat atau melayani pasar luar negeri, tetapi juga mengangkat wilayah perdesaan, memperkuat ketahanan nasional dan membangun kapabilitas negara secara menyeluruh,” ungkapnya. I

 

Kirim Komentar