Direktorat Pesantren Kementerian Agama (Kemenag) mendorong pesantren untuk membangun budaya aman dan deteksi dini kekerasan seksual.
Salah satunya dengan menyusun Standar Operasional Prosedur (SOP) Penanganan Kekerasan Seksual.
Hal ini diungkapkan Direktur Pesantren Basnang Said saat menjadi narasumber dalam Sharing Session Praktik Baik Standar Operasional Prosedur (SOP) Penanganan Kekerasan Seksual yang digelar secara daring.
“Kita ingin memastikan setiap santri merasa terlindungi, baik secara fisik, psikologis maupun spiritual, melalui sistem yang bekerja secara preventif dan responsif,” katanya.
Kemenag, Basnang menambahkan, berkomitmen untuk menciptakan ekosistem pondok pesantren (ponpes) yang aman, ramah anak dan berperspektif perlindungan santri.
Dia menekankan bahwa penanganan kekerasan seksual tidak cukup hanya dengan regulasi, tetapi harus berakar pada kesadaran kelembagaan dan budaya aman di lingkungan pesantren.
“Pesantren adalah lembaga pendidikan yang sangat berpengaruh dalam membentuk karakter bangsa. Karena itu, harus menjadi ruang yang aman, mendidik, dan berkeadaban,” ujar Basnang.
Sharing praktik baik ini diikuti diikuti ratusan pesantren piloting ramah anak dari berbagai daerah.
Basnang menambahkan, kegiatan ini merupakan bagian dari program nasional Kemenag dalam membangun sistem deteksi dini, saluran pelaporan aman, mekanisme pendampingan korban dan pemulihan psikososial.
Dalam kesempatan tersebut dihadirkan beberapa contoh praktik baik pencegahan dan deteksi dini yang dilakukan di pesantren.
Basnang berharap, praktik – praktik baik tersebut dapat diarahkan untuk menjadi model nasional, sehingga dapat direplikasi oleh pesantren lain secara bertahap.
Sementara itu Kasubdit Pendidikan Salafiyah dan Kajian Kitab Kuning Yusi Damayanti menegaskan bahwa Direktorat Pesantren terus memperkuat ekosistem perlindungan santri melalui sosialisasi, pendampingan teknis dan evaluasi berkala.
“Kami ingin memastikan seluruh pesantren, dari kota hingga pelosok, memiliki pedoman dan kesiapan menghadapi kasus kekerasan seksual secara cepat, tepat, dan berkeadilan,” ungkapnya.
Melalui sesi berbagi ini, Kemenag berharap para pengasuh pesantren dapat saling belajar dan mempercepat penerapan sistem perlindungan di lembaganya masing – masing.
Dia menekankan pentingnya kesadaran kelembagaan dan budaya aman di lingkungan pesantren sebagai fondasi utama pencegahan kekerasan seksual.
“SOP bukan sekadar dokumen administratif, tetapi cerminan nilai kemanusiaan. Pesantren harus tumbuh sebagai ruang aman bagi anak didik untuk belajar, tumbuh, dan berdaya,” tegas Yusi.
Acara yang dimoderatori oleh Fadhly Azhar, Kasubtim Kesantrian Subdit Pendidikan Salafiyah dan Kajian Kitab Kuning Direktorat Pesantren, menghadirkan sejumlah narasumber dari pesantren yang telah menerapkan sistem perlindungan secara konkret.
Mereka adalah Nyai Ernawati dari Pondok Pesantren Nurul Huda Cibojong Garut, Abah Dadan Ramadhan dari Peacesantren Welas Asih, Garut dan KH Mustopa Mughni dan Pondok Pesantren Daarul Mughni Al-Maaliki, Bogor.
Nyai Ernawati menuturkan pentingnya sistem pelaporan internal yang cepat, aman, dan menjaga kerahasiaan korban.
Dia menegaskan bahwa keberhasilan penanganan kasus tidak hanya bergantung pada SOP tertulis, tetapi juga sikap humanis dan empatik para pengasuh.
Abah Dadan memaparkan cara pendekatan peace education menjadi langkah preventif dalam mengurangi potensi kekerasan berbasis relasi kuasa.
“Ketika santri terbiasa berdialog dan memahami perbedaan dengan empati, potensi kekerasan berkurang secara alami,” ujarnya.
Sementara itu, KH Mustopa Mughni menekankan perlunya integrasi nilai – nilai fiqh tarbiyah dan akhlak dalam penanganan kasus di pesantren.
Menurutnya, tradisi keilmuan pesantren justru bisa menjadi kekuatan moral untuk membangun mekanisme perlindungan yang berkeadilan dan akuntabel. I
