Polemik sistem penempatan Pekerja Migran Indonesia (PMI) ke luar negeri kembali menjadi sorotan.
Kali ini, muncul pernyataan dari Kepala Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) Abdul Kadir Karding, yang memperkirakan adanya 6 juta PMI unprosedural atau ilegal.
Pernyataan tersebut, dikatakan Ketua Dewan Penasehat Himpunan Pengusaha Jasa Tenaga Kerja Indonesia (Himsataki) Yunus Yamani, memantik berbagai pertanyaan dan perdebatan.
Angka 6 juta PMI unprosedural dalam kurun waktu beberapa tahun saja adalah rekor terbesar sepanjang sejarah penempatan PMI selama lebih dari tiga dekade.
Namun, Yunus menambahkan, angka tersebut sepenuhnya menjadi tanggung jawab Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia (P3MI) atau pihak lainnya.
“Kita harus jujur dalam melihat persoalan ini. Tidak adil jika P3MI terus – menerus dijadikan kambing hitam atas buruknya sistem penempatan tenaga kerja yang ada,” katanya.
Menurut Yunus, faktanya selama bertahun – tahun, P3MI telah menjadi bagian penting dalam menempatkan lebih dari 5 juta PMI secara legal ke berbagai negara, terutama ketika pemerintah belum mampu menyediakan lapangan pekerjaan yang cukup di dalam negeri.
“Namun, masalah 6 juta PMI unprosedural ini menunjukkan bahwa ada celah besar dalam sistem penempatan,” tegasnya.
Yunus menilai penempatan PMI secara ilegal tidak mungkin dilakukan oleh P3MI semata.
“Ada kemungkinan keterlibatan oknum pejabat atau pihak tertentu yang memanfaatkan sistem untuk kepentingan pribadi, karena bagaimana mungkin ribuan calon PMI bisa berangkat dari terminal – terminal keberangkatan tanpa pengawasan yang memadai,” ungkapnya.
Hal ini mengingatkan pada pernyataan Menteri Koordinator (Menko) Bidang Hukum, HAM, Imigrasi dan Pemasyarakatan Yusril Ihza Mahendra, yang menyatakan sistem penempatan yang buruk akan merugikan semua pihak, bahkan mereka yang telah bekerja dengan baik dan sesuai aturan.
Sebagai Kepala BP2MI Abdul Kadir Karding menghadapi tugas besar untuk membenahi sistem ini, karena penempatan PMI harus dilakukan secara masif, dengan devisa yang dihasilkan harus dimaksimalkan dan perlindungan terhadap PMI harus menjadi prioritas utama.
“Namun, tanggung jawab ini tidak bisa diemban oleh BP2MI saja. Semua pihak yang terlibat dalam proses penempatan PMI harus ikut bertanggung jawab,” tutur Yunus.
Tanggung jawab itu adalah pada pemerintah daerah (pemda), dengan harus lebih proaktif memberikan informasi kepada calon PMI (CPMI) dan serius dalam mengawasi petugas di bawah naungannya.
Pengawasan ketat terhadap praktik ilegal di wilayah masing – masing harus ditingkatkan.
Selain itu, tanggung jawan fasilitas medis untuk CPMI, dengan lembaga medis yang memeriksa kesehatan CPMI harus menjalankan tugasnya dengan integritas.
“Jangan sampai ada praktik menyatakan CPMI berstatus Fit hanya untuk kepentingan komersial, sedangkan kenyataannya mereka tidak sehat dan harus dipulangkan di negara tujuan,” kata Yunus.
Lembaga medis harus bertanggung jawab atas kerugian biaya pemberangkatan dan pemulangan CPMI yang tidak sehat.
Tanggung jawab lainnya adalah Lembaga Pelatihan Kerja (LPK) dan Balai Latihan Kerja (BLK), yang mendidik CPMI harus memastikan bahwa mereka memiliki keterampilan yang sesuai dengan kebutuhan kerja.
“Jika CPMI yang telah dilatih ternyata tidak mampu bekerja dan dipulangkan oleh majikan, maka LPK dan BLK juga harus ikut bertanggung jawab,” jelasnya.
Yunus menegaskan tanggung jawab lainnya adalah Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP), karena sebagai lembaga penguji, LSP harus memastikan bahwa hanya CPMI yang benar – benar memenuhi standar minimum yang dinyatakan lulus.
“Jika semua CPMI dipukul rata tanpa pengujian yang ketat, risiko dipulangkannya pekerja oleh majikan menjadi lebih besar. LSP juga harus bertanggung jawab atas kerugian yang timbul akibat ketidaksiapan CPMI dalam bekerja,” ujarnya.
Menteri P2MI Abdul Kadir Karding harus melihat lebih dalam bagaimana 6 juta PMI unprosedural ini bisa berangkat, karena tidak mungkin hal ini terjadi tanpa adanya dukungan dari oknum yang memiliki kuasa atau pengaruh.
“Membongkar jaringan ini adalah langkah penting untuk menciptakan keadilan dan memastikan bahwa sistem penempatan PMI dapat berjalan dengan baik di masa depan,” ungkap Yunus.
Dia menilai keadilan adalah elemen kunci dalam membangun sistem yang sehat, karena tanpa keadilan, tidak mungkin seorang pemimpin mampu membenahi apa yang menjadi tanggung jawabnya.
“Oleh karena itu, tanggung jawab bersama ini harus diemban oleh semua pihak yang terlibat, mulai dari pemerintah, lembaga terkait, hingga masyarakat luas,” kata Yunus.
Dengan langkah – langkah nyata dan komitmen bersama bisa memastikan bahwa PMI sebagai pahlawan devisa mendapatkan perlindungan yang layak dan sistem penempatan PMI menjadi lebih baik. I