Bencana tidak dapat dihindari, tetapi dampak risikonya bisa diminimalisir. Penanganan bencana tidak bisa ditangani oleh satu pihak saja.
Hal itu harus didukung oleh unsur Pentaheliks mulai dari pemerintah, akademisi, masyarakat/komunitas, dunia usaha dan media.
Dua hal itu menjadi poin utama dalam mukadimah yang disampaikan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Letjen TNI Suharyanto saat menjadi pembicara dalam bincang-bincang bertajuk Jumpa Tokoh Sinergi Bersama BNPB, Pemprov Jatim dan Gerakan Pramuka dalam Program Kemanusiaan dan Kebencanaan di Kota Surabaya, Selasa (30/7/2024).
Di hadapan ratusan anggota Pramuka Kwartir Daerah Jawa Timur (Kwarda Jatim), Suharyanto menyampaikan fakta bahwa 13 jenis bencana yang sering terjadi di dunia ada di Indonesia.
World Bank pada tahun 2019 bahkan mencatat bahwa Indonesia menjadi satu dari 35 negara dengan tingkat potensi risiko bencana paling tinggi di dunia.
“Ada 13 jenis bencana yang sering muncul di dunia ada di Indonesia,” jelas Suharyanto.
Di sisi lain, berdasarkan indeks kajian risiko bencana yang dihimpun BNPB per tahun 2023, tidak ada kabupaten/kota yang terbebas dari ancaman bencana, di mana lebih dari 204 juta penduduk tinggal di daerah rawan bencana.
Hal itu tentunya juga menjadi ancaman bagi lebih dari 670.000 triliun aset di Tanah Air karena berada di wilayah yang berisiko bencana. Lebih dari 80 juta hektare kerusakan lingkungan dapat terjadi akibat bencana.
“Bencana tidak bisa dihindari. Bahkan setiap tahun angka kejadiannya meningkat. Pertumbuhan penduduk, urbanisasi, perubahan iklim, kerusakan lingkungan adalah beberapa faktor yang memicu terjadinya bencana. Setiap tahun BNPB mencatat kejadian bencana meningkat,” jelas Suharyanto.
Sebagai masyarakat yang tinggal di bumi Nusantara dengan segenap potensi kekayaan alam hingga potensi risiko bencana, Kepala BNPB mengajak kepada seluruh pihak agar hal itu dapat disyukuri dan disikapi dengan bijak.
Jika di awal tadi disebutkan bahwa manusia yang hidup di muka bumi ini tidak bisa mengelak dengan potensi bencana, tetapi Kepala BNPB optimis kita semua masih memiliki pilihan untuk berikhtiar mengurangi risikonya.
Menurut dia, kuncinya adalah bagaimana sinergitas antar unsur petaheliks dapat dimaksimalkan dalam tiga fase kebencanaan, mulai dari sebelum, saat terjadi bencana maupun pascabencana.
“Bahwa penanganan bencana itu tidak bisa ditangani hanya oleh satu pihak. BNPB selalu menyebut ada Pentaheliks. Ada lima unsur, pemerintah, dunia usaha, akademisi, media dan tentunya masyarakat yang di dalamnya ada Pramuka,” jelas Suharyanto.
Dalam fase pencegahan, peningkatan kesiapsiagaan masyarakat yang diimbangi dengan mitigasi bencana dan infrastruktur peringatan dini yang selalu dimutakhirkan menjadi hal yang mutlak.
Jika ketiga elemen itu dilaksanakan dengan baik, maka tidak menutup kemungkinan bahwa dampak bencana dapat ditekan.
“Seperti yang disampaikan Bapak Presiden Joko Widodo bahwa dalam penanganan bencana upaya pencegahan adalah hal yang utama,” ungkapnya.
Kemudian, pada Fase Tanggap Darurat Bencana atau saat terjadi suatu peristiwa bencana, maka sinergitas segenap unsur menjadi kekuatan utama.
Sinergi ini tentunya juga harus dilakukan dengan segera sesuai porsinya masing-masing, misalnya tidak semua orang harus terlibat dalam pencarian pertolongan, tetapi dapat melengkapi kegiatan lain seperti pendataan, pemenuhan kebutuhan dasar, pelayanan kesehatan masyarakat dan sebagainya.
Selanjutnya pada fase pascabencana, maka segala sesuatu yang menyangkut rehabilitasi dan rekonstruksi harus terus dikawal agar masyarakat dapat segera bangkit untuk menyongsong kehidupan yang lebih baik.
Dari dua poin utama tadi, Kepala BNPB melihat bahwa Pramuka sebagai mitra aktif penanggulangan bencana telah melakukan itu dengan baik.
Peran Pramuka tidak hanya hadir saat negara membutuhkan dalam fase penanganan darurat saja, tetapi di semua periode penanggulangan bencana.
Kemudian, pada Fase pascabencana, Pramuka dinilai menjadi salah satu faktor yang mendukung upaya percepatan rehabilitasi dan rekonstruksi.
Sebagai contoh adalah ketika pemerintah membangun hunian tetap (huntap) bagi warga terdampak bencana erupsi Gunungapi Semeru.
Pada Fase Pencegahan, Pramuka tidak diragukan lagi. Sebagai organisasi pendidikan nonformal yang memiliki anggota paling banyak di dunia, Kepala BNPB melihat Pramuka selalu aktif dalam memberikan edukasi dan literasi kesiapsiagaan melalui sekolah-sekolah.
Peran serta Pramuka dalam tiga fase kebencanaan itu tentunya harus terus ditingkatkan. Kesuksesan dalam membentuk ketangguhan masyarakat merupakan bagian dari sinergi dari lintas unsur Pentaheliks, yang mana Pramuka ada di dalamnya.
Kepala BNPB kemudian memberikan penghargaan kepada Ketua Kwartir Nasional Gerakan Pramuka Budi Waseso, Penjabat (Pj) Gubernur Jawa Timur Adhy Karyono dan Ketua Kwarda Pramuka Jawa Timur HM Arum Sabil dengan menyematkan pin penghormatan BNPB ditutup dengan penyerahan cinderamata. I